Napak Tilas Kejayaan Kolonial Belanda di Mangga Dua dan Kampung Pecah Kulit

Dari mana nama "Kampung Pecah Kulit" berasal?

Sejarah adalah sesuatu yang lampau, sudah lewat. Kita hidup di zaman sekarang jadi untuk apalagi mengulik yang telah berlalu? Salah besar kalau kita sebagai generasi muda masih beranggapan demikian. Sejarah tidak selalu membosankan, ada banyak cara supaya belajar sejarah menjadi sesuatu yang menyenangkan salah satunya dengan melakukan pelesiran baik sendiri maupun bersama teman-teman. Pilihan kedua sepertinya akan menjadi opsi yang menyenangkan karena mayoritas orang Indonesa senang pergi ke suatu tempat beramai-ramai. Apapun pilihannya, jangan pernah sekali-kali melupakan sejarah.

Pagi itu aku panik. Cuaca sangat tidak bersahabat, mendung bergelayut di langit seperti enggan untuk menjauh. Tetapi aku tak lekas menyerah dengan kondisi cuaca karena sesuatu yang menyenangkan telah menunggu. Hari ini aku akan kembali berjalan-jalan menelusuri jejak kejayaan pemerintah kolonial Hindia Belanda ketika Jakarta masih bernama Batavia. Aku akan menjelajahi Mangga Dua dan Kampung Pecah Kulit. Sejak melangkahkan kaki keluar dari rumah sudah banyak pertanyaan beterbangan di kepala: apa pula itu Kampung Pecah Kulit? Aku taunya kulit telur yang bisa pecah kalau kita taruh terlalu keras. Aku baru tahu kalau ada suatu wilayah di Jakarta yang bernama demikian. Kenapa dinamai demikian? Itulah mengapa kita harus melek akan sejarah!

Rute berjalan hari itu bersama dengan temna-temanku melewati situs bersejarah yang sebelumnya aku tidak pernah kunjungi sebelumnya atau bahkan mengetahui terdapat tempat tersebut di ibukota Indonesia tercinta ini. Dimulai dari Museum Sejarah Jakarta atau yang lebih akrab dengan Museum Fatahillah aku dan rombongan pelajar penuh rasa ingin tahu ini akan melewati Jalan Lada, Gedung BNI 46, Gedung NHIB, Stasiun Jakarta Kota, Gedung Olveh, Jalan Jembatan Batu, Medan perang kala Tentara Mataram melawan kolonial Belanda, Gereja Sion, Monumen Pieter Erberveld, Makam Keramat yang diduga tempat bersemayamnya Pangeran Jayakarta, Mesjid Mangga Dua dan Makam Keramat Kapiten Tionghoa Pertama sebagai tempat berakhirnya perjalanan.

Sepanjang perjalanan aku disuguhi banyak fakta menarik. Yang paling menarik adalah ketika aku mendapat kesempatan berkunjung dan masuk kedalam Gereja Sion yang merupakan gereja Portugis tertua yang masih berdiri kokoh di Jakarta. Gereja ini memiliki nama asli Portugeesche Buitenkerk atau gereja Portugis yang berada di luar tembok kota, dinamakan demikian karena kala Hindia Belanda berkuasa pemerintah membangun tembok batas pertahanan kota dan gereja ini letaknya di luar tembok tersebut. Aku dibuat kagum dengan arsitektur gereja yang megah dan interior yang masih dipertahankan hingga kini. Terdapat mimbar bergaya Baroque yang diteduhi sebuah kanopi yang membuatnya unik untuk dilihat. Ada juga sebah organ seruling (orgel) yang masih terawat dengan sangat baik walaupun kini sudah tidak difungsikan lagi. Walaupun waktunya terbatas karena jemaat akan beribadah namun aku senang karena banyak mendapatkan informasi tentang sejarah pembangunan gereja tersebut yang masih tegak berdiri sampai sekarang. Bahkan gereja itu kerap disebut Gereja Cinta karena terdapat jeruji jendela didalamnya yang berbentuk buah hati.

Perjalanan panjang hari ini akhirnya menjawab pertanyaanku kenapa ada suatu wilayah di Jakarta bernama Kampung Pecah Kulit. Nama tersebut berkaitan dengan seorang kaya raya Pieter Erberveld yang diduga bekerja sama dengan rakyat pribumi untuk melakukan kudeta terhadap pemerintah kolonial Belanda. Rencana pemberontakan itu sampai ke telinga pemerintah Hindia Belanda dan Pieter dihukum dengan cara yang sangat tidak manusiawi: kaki dan tangannya diikat ke empat ekor kuda kemudian ditarik hingga tubuh Pieter pecah kulitnya. Cerita memilukan ini menjadi asal muasal nama Kampung Pecah Kulit. Tengkorak Pieter dipancangkan sebagai peringatan agar tak ada lagi rakyat pribumi yang melawan perintah Belanda. Pancang tengkorak tersebut disingkirkan setelah pemerintah Belanda kalah melawan Jepang. Cerita yang sangat membuat bergidik, namun membuatku kian bergairah mempelajari sejarah karena bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai sejarah yang terkandung didalam negaranya.

 

Erinintyani Shabrina Ramadhini Photo Writer Erinintyani Shabrina Ramadhini

Catch me with your knowledge.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya