Bersolo Trip ke Kampung Bena, Sebuah Perjalanan Memerdekakan Diri

Sejenah menjauhi Jakarta

Ingar-bingar Jakarta tak pelaknya sebuah momok yang harus dihadapi setiap hari. Begitu keluar dari gerbang rumah, kendaraan yang mengular panjang di badan jalan menjadi pemandangan tak terelakkan. Deru klakson yang meraum-raum di persimpangan menjadi nyanyian sengau yang  mesti didengarkan, suka tidak suka.

Rutinitas ini membikin penat. Kepala penuh pikiran yang tak waras akibat selalu disuguhi lanskap yang tak ramah. Suara orang saling menyerukan amarah rasanya membikin akal dan nalar jauh dari kata sehat. Kalau sudah begini, merasa berada di titik jenuh, hanya satu jalan untuk memulihkan rasio otak: berlibur, mencari ketenangan.  

Ada satu pulau yang mendengar namanya saja selalu membikin hati gemetar: Flores. 

Menjauhi Jakarta dan melipir sebentar ke timur Nusantara, agaknya menjadi pilihan yang tepat untuk kembali memerdekakan diri.

Bersolo Trip ke Kampung Bena, Sebuah Perjalanan Memerdekakan DiriFrancisca Christy Rosana/IDNTimes.com

Jakarta, 1 Juli 2017

Tepat di tengah tahun, angin semerbak liburan merayu indera. Lantaran sudah tak tahan dengan hustle and bustle-nya Jakarta, tangan pun gatal membuka agen travel berbasis daring untuk mencari tiket menuju Flores—tanah impian. Sayangnya, di masa-masa ini, harga tiket pesawat sedang sangat tidak bersahabat. Umumnya, tiket Jakarta-Flores via Bali hanya dibanderol paling mahal Rp 1,8 juta. Sementara tiket Garuda Indonesia direct Jakarta-Flores masih berada di ambang Rp 1,9 juta atau paling mahal Rp 2 juta. 

Namun, kali ini seluruh harga berada di angka yang melambung. Hampir dua kali lipat dari harga low season. Lantaran merencanakan liburan mendadak dengan tabungan tak seberapa, otak harus diputar untuk menemukan harga tiket termurah. Akhirnya, satu-satunya jalan adalah membeli tiket lepas Jakarta-Bali dan Bali Flores via Labuan Bajo. Namun, harus transit kurang lebih 12 jam di Pulau Dewata. 

Tak masalah, tentu. Selain bisa jalan-jalan dulu, tiket bisa didapat dengan harga jauh lebih murah, yakni Rp 1,4 juta. Lumayan. Menghemat ratusan ribu dari harga normal. 

Jakarta, 13 Juli 2017

Mengepak carrier sudah dilakukan beberapa hari sebelumnya. Menyiapkan kamera, tentu tak lupa. Poin paling penting, yakni menyiapkan ketahanan fisik, menjadi poin yang tak boleh dilenakan. 

Bersolo Trip ke Kampung Bena, Sebuah Perjalanan Memerdekakan DiriFrancisca Christy Rosana/IDNTimes.com

Supaya tak terlampau capek, hari ini aku sengaja mengambil cuti. Padahal jadwal penerbangan ke Bali baru malam nanti. Lumayan, bisa menabung tenaga dengan tidur dari pagi sampai sore. Namun, rencana untuk terlelap malah gagal. Lebih banyak waktu dihabiskan buat mencari informasi selengkap-lengkapnya tentang destinasi utama yang nanti bakal dituju: Kampung Bena. 

Banyak traveler yang sudah berhasil meninggalkan jejak di rumah adat yang namanya kesohor hingga mancanegara ini. Sayangnya, hanya segelintir yang melakoni perjalanan seorang diri. Artinya, mereka memilih travel agent untuk “menyetir” perjalanan. Beberapa lainnya datang beramai-ramai sehingga lebih gampang menjangkau tempat yang letaknya cukup tersembunyi itu, yakni dengan merental kendaraan dan menyewa sopir. Sedangkan aku harus jalan sendiri dengan keterbatasan dana serta waktu. Karenanya, tak memungkinkan buat menyewa kendaraan pribadi atau ikut travel agent. Pun, tantangannya berbeda. Lebih seru!

Beberapa informasi dikantongi setelah melakukan penelusuran di linimasa dunia maya selama kurang lebih lima jam. Segala hal terkait penginapan, akses dari bandara menuju lokasi, dan transportasi dari kota menuju kampung adat sudah tercatat rapi. 

Menjelang tengah malam, burung besi membawa diri terbang menuju Pulau Seribu Pura. Lama perjalannya kurang lebih dua jam. Lantaran sudah petang, tak terlihat apa pun dari jendela. Karena itu, pilihan terbaik adalah tidur. 

Bali, 14 Juli 2017

Pukul dua dinihari, Bandara Ngurahrai mengucapkan selamat datang. Tak mau berdiam di bandara sambil menunggu penerbangan ke Flores esok siang, aku pilih mencari penginapan yang terjangkau di sekitar Kuta. Lumayan, pagi nanti bisa jogging di pantai yang lekat dengan ikon Dewata itu. 

Aku memilih sebuah motel di Jalan Puri Gerenceng dengan harga tak sampai Rp 100 ribu, namun dengan fasilitas lengkap. Ada kolam renang, AC di tiap kamar, bathroom kit, namun tak memperoleh sarapan. 

Pagi-pagi betul, angin Dewata membangunkan.

Bersolo Trip ke Kampung Bena, Sebuah Perjalanan Memerdekakan DiriFrancisca Christy Rosana/IDNTimes.com

Langit memang cukup mendung kala itu. Namun, tak berarti bakal hujan. Cuaca ini kurasa malah bagus untuk jogging. Kapan lagi berolahraga pagi di pinggir pantai, tanpa terik yang membakar kulit. 

Ternyata cukup nyaman berlarian di pinggir jalan Pantai Kuta sebelum pukul 10.00 WITA. Sambil sesekali memotret lanskap, aku menangkap banyak amatan, layaknya turis asing yang hobi mengajak anak-anaknya berlatih selancar, atau penduduk lokal yang sudah mulai bekerja memandu pelancong sejak kota masih berkabut. 

Tak sampai terik, aku kembali ke motel untuk bersiap menuju bandara. Sebab, penerbangan ke Flores dijadwalkan pukul 14.00 WITA. Itu berarti satu jam sebelumnya sudah harus standby

Ada perasaan ganjil yang belum pernah kurasakan: bersolo traveling ke timur. Memang, ini perjalanan kedua menuju Tanah Bunga itu. Namun, sebelumnya aku tak pernah melakoni perjalan sendiri sejauh ini.  Kendati demikian, tak ada perasaan ragu. 

Baca Juga: 8 Keindahan di NTT yang Bisa Kamu Dapatkan Selain Pulau Komodo

Labuan Bajo, 14 Juli 2017

Burung besi membawaku terbang melintasi gugusan pulau dengan karpet-karpet alam yang menakjubkan. Pasir putih bersanding laut berwarna tosca-biru muda-hijau-biru tua menjadi lanskap yang bisa ditemui sepanjang perjalanan. Kebetulan hari itu cerah. Pesawat juga tak terbang tinggi. Satu jam melayang-layang di udara, daratan Flores pun sedikit demi sedikit tampak di balik jendela pesawat. 

Bukit-bukit cokelat mendominasi. Laut biru menjadi latar yang kontras. Kali kedua, dan decak kagum masih keluar dari bibir. Perasaan membuncah muncul seketika tatkala roda pesawat mulai menyentuh daratan. 

Bersolo Trip ke Kampung Bena, Sebuah Perjalanan Memerdekakan DiriFrancisca Christy Rosana/IDNTimes.com

“Komodo International Airport”

Begitu kira-kira ucapan selamat datang yang pertama kali kubaca. Deretan rencana mengunjungi tempat-tempat indah di Labuan Bajo sudah ada di bucket list. Namun, kali ini tak ke gugusan pulau yang eksotis itu. Selain lantaran sudah pernah, tujuan utama ke Flores adalah menuju Bajawa, Kabupaten Ngada, tempat penduduk Bena bermukim. Bisa dibilang, kedatangan ke Labuan Bajo hanya sebagai lokasi transit kedua setelah Bali. 

Seorang teman bernama Aris menunggu di pintu kedatangan. Kami berkenalan lima bulan sebelumnya, saat aku datang pertama kali ke Labuan Bajo. Ia lantas mengantarkan ke hostel yang letaknya kurang lebih 300 meter dari pelabuhan utama. Blue Marlin namanya. Harga per malam cukup murah, yakni Rp 150 ribu, dengan kamar berbentuk dorm. Saat itu hanya ada dua penghuni: aku dan William, diver dari Amerika Serikat. 

Tak mau berlama-lama menghabiskan waktu, aku lantas menuju lantai dua.

Bersolo Trip ke Kampung Bena, Sebuah Perjalanan Memerdekakan DiriFrancisca Christy Rosana/IDNTimes.com

Hostel ini memiliki bar yang langsung menghadap ke laut. Pemandangannya sangat indah, dengan lalu-lalang kapal sebagai objek utamanya. Semu-semu Pulau Kelor—pulau terdekat dengan Labuan Bajo—tampak dari sana. 

Sambil menikmati sore yang terasa amat “rasta”, seorang perempuan asal Ruteng mendekat, mengajak ngobrol. Namanya Dirna. Ia bercerita tentang asyiknya tinggal di Bajo. Ya, sudah dua tahun dia menambatkan hati buat bekerja di kota kecil ini. “Sa pung (punya) kampung memang tak kalah indah dari ini. Tapi di sana tak ada pantai. Sedangkan, di sini ada laut yang bisa sa (saya) tatap setiap hari. Kalau su (sudah) mane (sore), matahari tenggelam, langit berubah warna jadi merah. Kita (kamu) harus menyaksikan sendiri,” katanya. 

Tak ingin melewatkan keindahan yang dimaksud Dirna, aku lantas turun ke bawah, ke dermaga, dekat tempat para nelayan bermukim. Kampung itu didominasi penduduk dari Bima, NTB. Mereka merantau, mencari tempat dengan perputaran uang yang lebih cepat. 

Di ujung dermaga, sambil menunggu matahari turun, obrolan bersama penduduk lokal terbangun. Katanya, di bulan-bulan ini, langit Bajo sedang bagus-bagusnya. Letak matahari pun sangat pas, sehingga bila kembali ke peraduan, ia bakal meninggalkan sisa warna keemasan yang molek. 

Benar saja, bulatan oranye itu lambat laun tenggelam di balik bukit, membuat gugusan bercahaya bak sepuhan emas. Anak-anak yang bermain di pinggir dermaga tampak seperti siluet dari kejauhan. 

Bersolo Trip ke Kampung Bena, Sebuah Perjalanan Memerdekakan DiriFrancisca Christy Rosana/IDNTimes.com

Hampir pukul 18.00 WITA, langit masih merah-keunguan. Aris sudah tiba di hostel. Ia mengajak berputar-putar di kota kecil itu. Kendaraannya diarahkan membelah bukit yang bersanding dengan samudera lepas. Hingga, di lahan lapang, ia menghentikan laju. “Ayok naik ke bukit,” katanya.

Bukit ini berada di tengah lahan yang luas. Tak terlalu tinggi, memang. Jadi bisa dijangkau hanya dengan hitungan menit. Namun, memanjatnya harus berhati-hati. Sebab, licin lantaran tanahnya tertutup oleh rumput-rumput yang mulai kering. 

Sekitar 10 menit memacu langkah, ada sebuah lanskap yang amat memukau. Langit keunguan menggantung di atas bukit yang luas. Di baliknya terdapat laut tenang yang menjadi background. “Lihat ke kanan,” kata Aris. 

Sebatang pohon berdiri sendiri. Dari tengah bukit, keberadaannya seperti tanaman yang tak punya kawan.

Bersolo Trip ke Kampung Bena, Sebuah Perjalanan Memerdekakan DiriFrancisca Christy Rosana/IDNTimes.com

“Namanya pohon jomblo. Aku sering memotret teman-temanku di sini,” tuturnya. Ada beberapa penduduk lokal yang juga sedang membidik gambar di bawah pohon itu. Juga dengan kami. 

Meski langit hampir gelap, langkah menuju pohon sendiri, yang gagah berdiri di puncak bukit, tak terhenti. Sesampainya di titik tujuan, aku menyaksikan laut Labuan Bajo membentang dari ujung ke ujung. Di tengahnya, ada sebuah teluk diapit bukit yang diam, dingin, tak beriak. Kami menghentikan obrolan beberapa waktu, membiarkan angin, ombak, dan deru kapal melagukan iramanya. 

Bersolo Trip ke Kampung Bena, Sebuah Perjalanan Memerdekakan DiriFrancisca Christy Rosana/IDNTimes.com

Ada sebuah ketenangan yang mahal harganya. Tak bisa didapat kalau aku hanya berdiam di Jakarta, kota yang kata orang paling maju di Nusantara itu. Di sini, kebahagiaan bisa didapatkan dari hal-hal sederhana: dari membangun obrolan ringan di bawah pohon atau menyaksikan alur laut yang bergerak jujur. 

Bersolo Trip ke Kampung Bena, Sebuah Perjalanan Memerdekakan DiriFrancisca Christy Rosana/IDNTimes.com

Labuan Bajo, 15 Juli 2017 

Kampung Bena memang bisa dijangkau lewat darat. Namun, perlu ditempuh lebih dari 10 jam. Karena keterbatasan waktu, aku memilih naik pesawat. Ada maskapai kecil milik beberapa perusahaan swasta yang membuka rute penerbangan menuju Bajawa. Murah saja, hanya Rp 280 ribu. Waktu tempuh kurang lebih 50 menit. Setelah berpamitan dengan kawan-kawan yang kutemui di Bajo, aku meneguhkan hati untuk kembali memulai perjalanan seorang diri. 

Namun keberuntungan berpihak. Di Bandara Komodo, aku bertemu dengan seorang solo traveler dari Belanda. Namanya Zusana. Kebetulan, tujuan kami sama. Niat untuk traveling bareng pun tercetus. 

Bersolo Trip ke Kampung Bena, Sebuah Perjalanan Memerdekakan DiriFrancisca Christy Rosana/IDNTimes.com
Pesawat baling-baling membawa aku dan perempuan 22 tahun itu melewati gugusan pegunungan di daratan Flores. Sawah jaring laba-laba, yang umumnya disebut Cancar Spider Web Rice Fields, terlihat dari jendela. Samar-samar Kota Ruteng juga tampak. Setelah itu, berturut-turut, gunung berganti sawah, berganti gunung lagi, menjadi pemandangan yang akrab menyapa mata. 

Hampir mendarat, pesawat yang kami tunggangi bergoyang hebat. Angin meniup, pesawat oleng. Beberapa penumpang tak tahan, lalu muntah. “Susah sekali mendarat di Bajawa, karena daerah pegunungan,” kata seseorang, berbisik. 

Doa melantun pelan. Hal-hal buruk yang mungkin terjadi sekonyong-konyong membayangi. Hingga, sebuah getaran hebat dirasakan. “Gruduuuuk.” Pesawat mendarat, tak terlalu mulus. Rem seperti ditarik seketika, membuat badan terdorong. Wajah Zusana sedikit pucat. Meski demikian, sambil tersenyum, rautnya mengisyaratkan kelegaan. 

Melangkah turun, lagi-lagi ada pemandangan yang molek, yang mungkin tak bakal ditemui di mana pun. Kanan-kiri tampil barisan gunung diselimuti kabut. Orang-orang refleks menutupi badannya dengan kain atau jaket. Hawa sejuk membikin bulu roma berdiri pelan-pelan. 

Di ujung kanan, sebuah bangunan sebesar kantor kelurahan berdiri.

Bersolo Trip ke Kampung Bena, Sebuah Perjalanan Memerdekakan DiriFrancisca Christy Rosana/IDNTimes.com

Itulah Bandara Soa Bajawa. Hanya ada dua kali penerbangan setiap hari di sini. Tak selayaknya bandara, gedung itu cukup nyenyat. Di pintu keluar, banyak sopir menawarkan travel. Kendaraannya berjenis mobil keluarga, bagus-bagus pula. Umumnya bermerek Inova. Harga sekali angkut per orang Rp 60 ribu. 

Aku dan Zusana menumpang mobil Gusti. Kami dibawa membelah hutan bambu dan gunung-gunung batu dengan jalanan berliku-liku. Jarang sekali terlihat rumah penduduk. Untuk memecah hening, musik reggae diputar cukup kencang. Dentuman hebat dari musik yang mengentak-entak itu lantas menggetarkan. Kami bergoyang bersama kurang lebih satu jam, sampai tiba di Kota Bajawa. 

“Sudah sampai,” kata Gusti. 

Bajawa. Kota ini, dari amatan pertama, tak ubahnya sebuah kota kecil yang misterius.

Bersolo Trip ke Kampung Bena, Sebuah Perjalanan Memerdekakan DiriFrancisca Christy Rosana/IDNTimes.com

Seakan, beragam peristiwa masa lampau tersimpan rapi. Lanskapnya menyajikan rupa yang molek. Cantik. Penduduknya tak kekurangan senyum. Mereka menyambut dengan sunggingan bibir. Ramah, lagi eksotis.  

Aku dan Zusana berjalan ke sebuah gang, menuju homestay yang letaknya tak jauh dari tourism information center. Penginapan sederhana itu sudah aku pesan kemarin. Lantaran ada Zusana, kami sharing cost. Untuk penginapan dengan fasilitas lengkap, cukup mewah, dan bisa dihuni hingga tiga orang, pelancong cukup membayar Rp 250 ribu per malam per kamar. Pemiliknya pun amat ramah dan melayani tamu dengan optimal. 

Sudah cukup sore kala kami sampai Bajawa. Namun, tak menyurutkan niat untuk mengunjungi Kampung Bena. Letaknya cukup jauh, dengan waktu tempuh kurang lebih 40 menit dari kota. Untuk ke sana, hanya ada dua pilihan: diantar ojek atau menyewa mobil. Kami memilih naik ojek, supaya bisa bersentuhan langsung dengan udara Bajawa yang sejuk. 

Jalanan menuju Kampung Bena lebih menegangkan dibandingkan dengan rute menuju Kota Bajawa dari arah bandara.

Bersolo Trip ke Kampung Bena, Sebuah Perjalanan Memerdekakan DiriFrancisca Christy Rosana/IDNTimes.com

Tikungan tajam, tanjakan terjal, atau turunan ekstrem harus ditempuh. Namun, pemandangan sepanjang perjalanan sungguh tak mengecewakan. Di jalur itu pula, banyak perempuan berjalan melintasi bukit-bukit, membawa barang kebutuhan rumah tangga. Barang itu dibawa tak dengan tangan, namun oleh kepala, yang diikat tenun. Sama seperti cara mama-mama di Papua membawa sembako atau kebutuhan lain. Mereka tersenyum ketika berpapasan dengan orang. 

Lorens, sang sopir ojek yang mengantar ke Kampung Bena, berceloteh sepanjang jalan. Ia berkisah soal struktur kekerabatan warga di sana yang menganut sistem matrilineal. “Setiap rumah pasti memiliki penghuni perempuan. Itu harus. Nanti lihat sendiri saja,” tuturnya. 

Lama bercerita, Lorens menghentikan motor di pinggir jalan, dekat dengan sebuah bukit. Di seberangnya, tampil sebuah perkampungan yang luar biasa cantik. Rumah-rumah kayu beratap rumbai-rumbai berdiri sejajar dari utara ke selatan. Kira-kira ada lebih dari 40 rumah berhadapan. Letaknya tepat di bawah lereng Gunung Inerie. 

Untuk masuk ke kampung itu, pengunjung harus membayar tiket Rp 20 ribu untuk turis lokal dan Rp 25 ribu untuk turis mancanegara. Lantas, kami dibekali kain tenun yang harus dikalungkan di leher atau diikatkan ke kepala, sebagai simbol penghormatan. 

Di tengah perkampungan, ada beberapa bangunan dengan dua bentuk arsitektur yang berbeda.

Bersolo Trip ke Kampung Bena, Sebuah Perjalanan Memerdekakan DiriFrancisca Christy Rosana/IDNTimes.com

Pertama, rumah jamur. Namanya ngadhu. Rumah itu merupakan simbol untuk nenek moyang laki-laki. Sedangkan bangunan lain membentuk miniatur rumah Kampung Bena, bernama bhaga. Keberadaannya merupakan simbol nenek moyang perempuan. Di depan rumah, terdapat bebatuan alami. Batu ini merupakan wujud nisan dari kuburan nenek moyang. 

Rumah mereka bertingkat-tingkat lantaran masyarakat setempat mempertahankan kontur tanah. Mereka tak mengubahnya menjadi rata. Hal itu menunjukkan bahwa penghormatan dan penghargaan terhadap alam cukup tinggi. Mereka juga percaya bahwa manusia tak boleh merusak alam. Dengan demikian, harmonisasi kehidupan bakal terbangun. 

Ada sembilan suku bermukim di sana. Masing-masing memiliki leluhur. Namun, cara hidupnya sama. Mata pencahariannya pun serupa. Laki-laki berkebun, sementara perempuan menenun. 

Sore itu, kami melihat mama-mama di kampung adat ini memintal kapas atau merangkai benang dengan alat tradisional.

Bersolo Trip ke Kampung Bena, Sebuah Perjalanan Memerdekakan DiriFrancisca Christy Rosana/IDNTimes.com

Mereka memajang hasil karyanya di depan rumah untuk dijual. Tenun dijual mulai Rp 75 ribu hingga ratusan ribu. Sebanding dengan lama waktu dan upaya mereka menghasilkan selembar kain. 

Di sisi lain, anak-anak bermain batu. Tak ada gadget atau fasilitas bermain yang mewah, seperti layaknya bocah-bocah di kota. Tetapi mereka menikmatinya, hingga tertawa lepas. 

Di ujung selatan, ada sebuah ruang doa terbuka. Patung Maria, sebagai bentuk penghormatan terhadap perempuan, bercokol di atas batu. Masyarakat setempat biasa berdoa di sini. Mereka mayoritas beragama Katolik.

Di balik itu, lanskap gunung berdiri gagah. Ada kursi melingkar berpayung rumbai dibangun di bibir jurang, yang berseberangan dengan gunung. Dari situ pengunjung bisa menikmati dua lanskap yang megah, sekaligus. 

Bersolo Trip ke Kampung Bena, Sebuah Perjalanan Memerdekakan DiriFrancisca Christy Rosana/IDNTimes.com

Zusana terpaku di sana. Ia seolah menikmati atmosfer yang tak pernah ditemui di pengembaraannya melintasi beragam negara di Asia. Pun begitu dengan aku. Melarikan diri dari Jakarta sekejap, menyegarkan pikiran, mengunjungi Kampung Bena, adalah cara berterima kasih kepada apa pun. Kami sama-sama menyadari, bahwa kemewahan bukan melulu soal harta yang telah didapat seusai bekerja, tapi tentang hal-hal yang ditemui selama perjalanan, di sela waktu mengumpulkan materi, untuk bekal berjalan lagi. 

Bersolo Trip ke Kampung Bena, Sebuah Perjalanan Memerdekakan DiriFrancisca Christy Rosana/IDNTimes.com

Informasi tambahan:

Kontak

-    Queen Homestay Bajawa (081339474873) (harga mulai Rp 150 ribu per kamar per malam, termasuk sarapan)

-    Lorens (ojek yang biasa mengantar turis) (085333505160) – tarif untuk mengantar ke Kampung Bena berkisar Rp 100 ribu

-    Fransiskus (owner Lucas Café, tempat makan yang berlokasi di tengah Kota Bajawa (081337288795)

-    Gusti (Sopir travel bandara-Kota Bajawa) (081337170442)

Yang perlu disiapkan

-    Tak ada sinyal lain selain Telkomsel di Bajawa.

-    Jarang ada ATM, jadi disarankan membawa uang tunai. Pun hanya ada beberapa ATM di sini, mayoritas BRI.

-    Jangan lupa membawa jaket tebal karena suhu malam hari bisa di bawah 10 derajat Celcius. 

-    Kalau ingin belanja kopi, disarankan langsung datang ke rumah penduduk atau ke koperasi, namun pesan dulu sehari sebelumnya. 

-    Tak sulit mencari mmakanan halal di sini. Banyak warung yang menjual makanan a la Jawa. 

-    Selain ke Kampung Bena, ada perkampunan adat lain di sekitarnya yang menarik untuk dikulik. Minta saja ojek untuk mengantar ke kampung-kampung itu. 

-    Setiap Sabtu malam, di depan Hotel Edelweiss, ada live music reggae. Pengunjung bakal diajak berjoget tradisional, ja’i, di sana. 

-    Siapkan obat antimabuk kalau tak tahan dengan jalannya yang berkelok-kelok. 

Baca Juga: 8 Agenda Wisata NTT Mulai Mei Hingga Desember, Wajib Dicatat Para Traveler!

;

Baca Juga: 8 Keindahan di NTT yang Bisa Kamu Dapatkan Selain Pulau Komodo

Topik:

Berita Terkini Lainnya